Ajaran menyimpang berkedok pengajian

Senin, 2 Juli 2018 07:00

Tolak radikalisme. ©2018 Merdeka.com/liputan6.com

Merdeka.com - Ajakan salat lima waktu selalu ditolak. Azis merasa itu bukan kewajiban sebagai seorang muslim. Percaya dengan keyakinannya. Apalagi setelah gabung menjadi bagian Negara Islam Indonesia (NII). Ajaran itu sangat kuat. Semua anggota kelompoknya tunduk. Menjalani pelbagai perintah lainnya.

"Pokoknya setelah itu saya sama sekali enggak pernah solat lagi," cerita Azis kepada merdeka.com Jumat pekan lalu. Menolak salat itu semenjak resmi berbaiat dengan NII.

Bukan impian Azis bergabung dalam kelompok dicap radikal ini. Mantan mahasiswa di sebuah kampus Islam negeri di bilangan Ciputat ini, akhirnya terjebak. Masuk dalam kelompok dengan status sebagai seorang mahasiswa. Masih muda. Dengan segudang pemikiran dari bangku kuliahan.

Tepatnya bulan Mei tahun 2012. Azis ingat betul pertemuannya dengan Suyono anggota kelompok NII di masjid kampus. Bukan untuk bergabung menjadi bagian NII. Melainkan hanya untuk mendapatkan referensi bahan diskusi di BEM Fakultasnya. Sebab dia merasa kurang puas dari berbagai buku telah dibaca.

Suyono tak membahas apapun tentang NII saat itu. Padahal seseorang ditemui Azis merupakan bagian kelompok NII. Permintaan Azis untuk memahami mengenai NII lalu berubah menjadi ajakan. Dalam seketika. Azis pun menerima. Langsung mengikuti Suyono dalam pengajian NII.

Pengajian berlangsung di kawasan Bintaro. Azis pun masuk perangkap. Merasa seperti dihipnotis. Dirinya tunduk dan mengikuti segala permintaan. Sampai akhirnya dibaiat. Lalu resmi menjadi anggota NII untuk wilayah Banten.

Dari kaca mata Azis, secara penampilan tak ada perbedaan mencolok antara pengikut NII dan borang lain pada umumnya. Hanya saja secara sosial ada banyak perbedaan. Seperti membatasi interaksi sosial. Biasanya mereka menolak berkomunikasi dengan orang bukan bagian kelompoknya.

Dia merasakan betul kondisi itu. Perlahan Azis mulai menarik diri dari lingkungannya. Sampai bolos jam perkuliahan. Lebih sering mengikuti kegiatan pengajian dan kajian. Guna memperkuat keyakinannya kala itu. Tak hanya masjid sebagai tempat berkumpul kelompok NII. Lapangan futsal pun bisa diubah menjadi sebuah tempat kajian.

Ada banyak pembahasan di sana. Banyak temanya negara dan agama. Mulai dari akidah, ibadah hingga muamalah. Kata Azis, NII menggunakan Alquran sebagai kitab suci. Hanya saja, dalam setiap pembahasan tafsir banyak penyimpangan. Penceramah tak pernah menafsirkan secara keseluruhan. Mereka hanya mau membedah ayat tertentu dianggap relevan dengan kultur NII.

"Ayat alquran yang dikaji itu hanya sepenggal-penggal saja," ujarnya. Sedangkan masalah negara, biasanya para korban ini seperti dicuci otak. Menanamkan pemahaman bahwa sistem negara salah. Mengarahkan negara memaksa memakai konsepsi syariat Islam.

Selain itu, kelompok NII juga mewajibkan pengikutnya untuk bersedekah. Tak tanggung, NII memiliki 27 jenis sedekah yang wajib dibayar. Ada yang dibayar tiap hari, tiap minggu hingga tiap tahun. Nominalnya wajib dilaporkan sejak pertama kali pengikutnya dibaiat.

Biasanya uang sedekah itu akan disetorkan usai melakukan pengajian. Caranya pun berbeda dengan biasa dilakukan umat Islam kebanyakan. Biasanya uang sedekah dikumpulkang ke kotak amal. Tetapi dalam ajaran NII, uang sedekah di lemparkan ke depan tempat penceramah menyampaikan materi pembelajaran.

Ada pula memasukkan uang sedekah ke dalam kantong uang. Sebagian anggota bahkan hanya membiarkan uang tersebut tanpa tempat. Untuk jumlahnya tidak kecil. Bisa mencapai sampai jutaan tiap pertemuan. Jangan heran, kata Azis, banyak jemaah NII masuk dalam kelas menengah.

"(Mereka) itu bukan orang miskin, mobilnya juga masya Allah, mobil mewah semua," ungkap Azis.

Tak berhenti di masalah agama, NII juga memainkan peran politik dalam organisasinya. Bak sebuah negara, mereka memiliki wilayah administratif. Dibentuk sendiri tanpa sepengetahuan orang di luar kelompoknya. Bahkan ada anggota kelompok itu mendapat status sebagai bupati/wali kota, gubernur hingga presiden. Pembagian wilayah kekuasaan pun berdasarkan jumlah pengikutnya dalam satu wilayah.

Misalnya, kata Azis, kelompoknya itu dipimpin seorang Wali Kota dari kelompoknya. Meski notabene Ciputat tercatat sebagai kecamatan. Namun, pandangan itu beda. Kelompok terlarang ini tetap mencatat Ciputat perlu dipimpin sekelas bupati/wali kota.

Untuk penunjukan wali kota tak melalui sistem demokrasi atau musyawarah mufakat. Melainkan berdasarkan penunjukan dari jabatan lebih tinggi di atasnya. Selain pembagian wilayah administratif, anggota NII digiring untuk mengganti ideologi negara pancasila dengan ideologi berdasarkan ajaran islam diyakini kelompoknya.

"Kita diarahkan tidak taat pada negara Indonesia. Jadi kita keluar dari situ, keluar dari zona itu," ungkap Azis.

Berbagai kejanggalan itu telah dirasakan Azis sejak triwulan pertama. Berbagai ajaran NII tak sejalan dengan hati nuraninya. Namun, seperti terhipnotis, Azis tak bisa keluar dari belenggu yang membuatnya sulit kembali.

Dalam kesendiriannya, dia menyadari langkahnya bersama NII salah. Banyak hal menyimpang telah dilakukan. "Kita benar-benar seperti robot yang kalau bilang ke bawah ya ke bawah, ke atas ya ke atas. Pokoknya ketika mereka telpon kita langsung nurut," cerita Azis.

Meski begitu, dirinya kini sudah bebas. Tak lagi terperosok ke dalam kelompok dianggap terlarang tersebut. Namun tidak semua disesali. Ada hal baik bisa dipetik selama bergabung dengan NII. Salah satunya mengenai pelatihan menjadi pengusaha. Di sana dia belajar ternak lele. Mungkin, kata Azis, itu hal baik bisa diambil ketika bergabung dengan NII.

Selepas dari jeratan kelompok itu, Azis kini sudah bertobat. Kembali di jalan sesuai ajaran agama dan ideologi negara. Termasuk menjadi pengusaha ternak lele. Di samping itu dirinya juga kerap dipanggil sebagai penceramah di banyak wilayah.

Banyaknya ancaman pemahaman ideologi terlarang ini sempat menjadi perhatian Alvara Research Center. Mereka bahkan sampai membuat riset tentang 'Radicalisme Among Educate People?'. Melibatkan kalangan terdidik. Mulai dari pelajar SMA/sederajat, mahasiswa dan profesional.

Survei ini dilakukan Oktober tahun 2017 ini melibatkan 1.200 responden kalangan profesional. Di kalangan mahasiswa, peneliti melibatkan 1.800 responden dan 2.400 responden berstatus pelajar setingkat SMA. Semua dilakukan di enam kota besar. Di antaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar.

Hadirnya risen ini dianggap mampu mengukur dan memetakan seberapa luas paham radikalisme telah berkembang di kalangan terdidik. Hal ini sebagai bentuk pengingat adanya dugaan radikalisme di kalangan terdidik. Hasilnya, ajaran intoleransi dan radikal telah masuk di kalangan terdidik.

Pelbagai ajaran intoleransi anti Pancasila dan NKRI masuk melalui kajian keagamaan dan kegiatan keagamaan di sekolah. Sebab kelompok intoleran semakin mendominasi banyak kajian di berbagai tempat. Mulai dari tempat kerja, lembaga dakwah kampus dan kegiatan keagamaan di sekolah.

Untuk itu, antisipasi dan penanggulangan perlu dilakukan sejak dini. Sebab pemahamam radikal terbagi menjadi beberapa fase. Soft fase hingga hard fase. Mengembalikan mereka yang masuk kategori soft lebih mudah. Namun program deradikalisai yang ada saat ini harus menggunakan berbagai cara kreatif. Salah satunya dengan menawarkan beberapa pemikiran lebih moderat kepada mereka yang ada di kategori ini.

"Kalau yang masih soft masih sangat mungkin menawarkan beberapa pemikiran-pemikiran yang lebih moderat kepada mereka," kata CEO ALvara Research Center, Hassanudin Ali di Jakarta. [ang]



Sumber
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==