Inilah Alasan di Balik Larangan Menikah pada Bulan Suro, Tak Sekadar Mitos Batara Kala

Rabu, 5 September 2018 16:18
   
ILUSTRASI Pengantin Adat Jawa - putrisoekarno.com

Laporan Wartawan TribunTravel.com, Rizki A Tiara

Jelang Tahun Baru Islam yang jatuh pada Selasa (11/9/2018), umat Muslim akan memasuki bulan Muharram atau yang dalam bahasa Jawa disebut bulan Suro.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang keramat.

Bahkan, ada pantangan untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan selama bulan Suro.


Tak heran, menjelang akhir bulan Dzulkahijjah atau Dzulhijjah, masyarakat Jawa buru-buru menggelar hajatan pernikahan sebelum memasuki bulan Suro.

Alasan pantangan menggelar hajatan pernikahan di bulan Suro adalah dikhawatirkan pasangan yang menikah akan mendapat nasib buruk.

Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat Jawa begitu mengeramatkan bulan Suro.

Sebagaimana dikutip TribunTravel.com dari laman Intisari Online, menurut pengamat budaya Jawa, Han Gagas bulan Suro dikuasai Batara Kala.

Ini berdasarkan pada kepercayaan Hindu.

Adapun Batara Kala sang penguasa Suro juga merupakan penguasa waktu yang menjalankan hukum karma atau sebab akibat.

"(Bulan) Suro, dewanya Batara Kala, yang suka makan manusia, dalam arti nasibnya. Sehingga buruk nasibnya," kata Han Gagas.

"Untuk itu, hal tersebut harus dihindari agar auranya menjadi baik," tambahnya.

Melihat Batara Kala yang suka memakan nasib (baik) manusia, masyarakat Jawa tidak menyelenggarakan hajatan di bulan Suro.

Jika melanggar, dikhawatirkan nasib buruk akan datang.

Menurut Han Gagas, hajatan yang dilarang diselenggarakan di bulan Suro tak hanya pernikahan.

Namun juga hajatan lain seperti pendirian rumah, sunatan, pindah rumah dan lainnya.

Meski larangan menggelar pernikahan di bulan Suro dimaksudkan untuk menghindari nasib buruk, itu tidak berarti resepsi pernikahan di bulan ini juga dilarang.

Han Gagas mengatakan, "Jika ijab kabul dilaksanakan sebelum bulan Suro lalu mengadakan resepsi pada bulan Suro, itu masih bisa dilakukan."

Selain kepercayaan Hindu di atas, ada alasan lain di balik pantangan menikah di bulan Suro.

"Budaya Suro bisa dianggap bulan spiritual sehingga waktunya untuk ibadah dan membersihkan dari sifat, sikap, watak nafsu angkara, aluamah, sufiyah, mutmainah, dan bisa dianggap sebagai bulan rehat dan refleksi renungan."

"Bukan untuk membuat hajat yang berdampak pada pengeluaran keuangan terlalu banyak," jelas Han Gagas.

Artinya, di bulan spiritual ini sebaiknya masyarakat memanfaatkannya untuk lebih memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian.

Seperti beribadah, merehatkan diri dari hingar-bingar dunia, atau merenungkan kehidupan agar berjalan lebih baik.

Sementara itu, menggelar pernikahan atau jenis hajatan lainnya hanya akan mendorong seseorang mengeluarkan biaya yang banyak.

Hal ini tentu membuat bulan spiritual tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena kesempatan untuk beribadah dan renungan berkurang atau malah hilang sama sekali.

Menurut Han Gagas, selain dari segi spiritual, pantangan menikah di bulan Suro bisa pula dikaitkan dari segi sosial dan ekonomi.

"Orang Jawa perlu 'let' (jeda), termasuk kondisi keuangan."

"Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang (memberi sumbangan), nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif."

"Ini versi yang modern dan condong ke manajemen uang," tambahnya.

Masayarakat Jawa memang bisa menggelar pesta pernikahan sepanjang tahun, kecuali di bulan Suro.

Sehingga terdapat rehat atau jeda sejenak dari biaya hajatan, tidak hanya dari pihak penyelenggara, tetapi juga bagi orang yang menghadiri hajatan.

Jika tak ada rehat dalam satu bulan, bisa dipastikan sepanjang tahun masyarakat akan mengadakan atau menghadiri hajatan.

Sehingga perlu kerja yang lebih keras untuk memenuhi pengeluaran tersebut.

Seringnya frekuensi gelaran pernikahan bisa membuat orang sebal karena menghadiri hajatan pernikahan atau hajatan lain yang tak ada hentinya.

Jadi, jika ada jeda selama satu bulan, pengeluaran pun ikut 'beristirahat' dan uang yang ada bisa disimpan.

Saat semua hal itu dilakukan akan masuk dalam kearifan lokal yang akan memunculkan toleransi, meningkatkan spiritual, atau lebih memahami keadaan sekitar.

Bahkan, dalam Islam, ada sunah untuk berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram (Suro).

Hal ini mengindikasikan, kita bisa mengambil hikmah dari puasa dengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu, bukannya membuat hajatan pesta.

Selain itu dengan berpuasa, kita juga dapat belajar untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan.

Mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang pantangan hajatan di bulan Suro, semuanya memiliki tujuan yang baik.


Sumber
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==